Senin, 22 Oktober 2012


MATERI PHOTOGRAFI KOMERSIAL

Commercial photography mempunyai cakupan yang luas sekali. Objek apapun bisa dijadikan karya foto yang memiliki nilai jual, sehingga tiap fotografer yang menggeluti bidang ini perlu bekal pengetahuan fotografi yang luas terhadap penggunaan berbagai perangkat pemotretan, segala aksesori pendukungnya, perangkat penyinaran dan aksesoris nya. Dan yang paling penting adalah manajemen dan wawasan untuk mendukung  kreatifitasdan kelancaran kerja. 
          Ini berarti seorang fotografer komersial haruslah berpengetahuan lengkap terhadap segala macam teknis pemotretan dan juga berpengalaman dengan jam terbang melakukan pemotretan terhadap berbagai jenis benda mati dan benda hidup, produk paling kecil sampai paling besar; flora, fauna, balita sampai model dewasa. Selain itu fotografer juga harus fasih melakukan pemotretan studio, mengetahui workflow pemotretan, mengetahui pemotretan di tempat terbuka dan bisa bersosialisasi di berbagai kalangan yang berbeda tingkat sosialnya. Fotografi seringkali membawa sang fotografer jauh menjelajahi disiplin ilmu lainnya yang ber hubungan dengan fotografi maupun yang tidak.



         Table Top Photography Berbagai jenis benda yang dapat di foto diatas meja adalah kotak kemasan, botol, kaleng, pecah belah, makanan minuman yang mempunyai wadah, peralatan kantor, buah2an, sayuran, berbagai macam bunga, perhiasan, perlengkapan makan dan lain sebagainya. Meja khusus untuk keperluan ini biasa disebut sebagai Background Table atau seringkali sering disebut sebagai meja Table Top saja. Meja ini harus didesain sedemikian rupa agar bisa membantu kelancaran kerja fotografer.


          Berbagai benda yang di foto, banyak diantaranya harus dilihat dengan sudut pandang tinggi, menengah atau rendah. Beberapa harus dilakukan dengan kesejajaran vertikal. Dan beberapa harus diupayakan dengan depth-of-field yang besar. Ini semua butuh pengetahuan aspek teknis fotografis, pengalaman memotret yang baik, jam terbang memotret yang cukup dan dasar2 teknis fotografis yang kuat.

     Background table ini sebaiknya di tempatkan di tengah ruangan, agar bisa lebih leluasa dalam menempatkan dan mengatur lampu2 di posisi yang tersulit sekalipun. Kalau meja dirapatkan ke dinding, besar kemungkinan posisi lampu dari samping akan memantul ke dinding dan dinding dapat memantulkan kembali sinar lampu dari samping tersebut.
         Selain itu, fotografer juga susah menempatkan lampu dari belakang (karena meja menempel ke dinding) untuk mendapatkan effect light seperti back light dan rim light.

     Alas meja pun tidak boleh permanen, karena sifat alas meja harus fleksibel antara transparan, semi transparan (opaque) dan yang masif tidak tertembus cahaya sekuat apapun. Pilihan layar background yang paling umum adalah putih-hitam, merah, coklat, biru tua, biru muda dan 18% grey. Untuk kebutuhan tertentu, layar background spt two-tones, tri-tones dan graduated dalam berbagai warna akan sangat terpakai. Biasanya, warna background dipakai atas keinginan klien, tuntutan story board dari pihak advertising, untuk menonjolkan produk yang di foto dan seringkali warna background berhubungan dengan warna perusahaan (corporate color) yang memakai jasa kita. Pilihan ini ada kalanya permintaan dari klien, tetapi di sisi lain fotografer harus bisa menawarkan alternatif sebagai inisiatif profesi.
           Table Top ini dapat ditemukan hampir di semua toko peralatan fotografi yang menyediakan peralatan studio foto. Harganya berkisar antara 2.5-3.5 juta rupiah. Atau kita juga bisa membuat sendiri meja tersebut, baik secara permanen maupun dengan sistem knock-down agar meja tersebut dapat kita bongkar dan kita pasang lagi di manapun. Table Top Photography secara umum biasa juga disebut sebagai Still Life Photography.


       Product Shot Photography, Sebuah Jargon Yang Membingungkan Product Shot biasanya selalu dikaitkan dengan hadirnya sejumlah nama atau brand produk yang tampil di foto. Nama dan brand ini bisa dicantumkan lewat teks grafis, dapat juga tertera langsung pada benda yang di foto maupun timbul secara perseptif. Timbul secara perseptif disini, misalnya kita memotret produk kopi dari starbuck, walaupun tanpa logo atau brand nama starbuck, ciri khas kopi starbuck dapat terlihat dengan jelas. Atau beberapa produk yang terlihat tidak "nyata" spt sebuah rasa atau bau-bauan spt parfum. Pada saat pemotretan parfum, kesan rasa dan bau dari parfum hampir mustahil di visualisasikan lewat foto. Fotografer hanya bisa mempresentasikan kemasan atau "wakil" dari produk tersebut. Dalam jargon lainnya, product shot memvisualisasikan aspek nyata dan aspek maya dari sebuah komoditas, secara langsung maupun tidak langsung. 

Dalam kasus kampanye iklan Benetton, secara langsung dapat dilihat bahwa iklan tersebut mempresentasikan Benetton bukan sebagai produk tapi lebih sebagai sebuah branding image. Dalam foto2 iklan Benetton tidak ada satupun produk yang di produksi Benetton tampil disana. Contoh2 lain spt foto2 kampanye iklan Benetton adalah foto2 product shot dari perusahaan tembakau (bukan rokok), celana jeans dan beberapa perusahan lainnya. Dalam contoh kasus ini, branding image korporat lebih dominan dibandingkan produknya sendiri. Branding image pada foto product shot jenis ini lebih lebih menekankan kepada gaya hidup dan penampilan dari sebuah iklan, yang mana foto produknya sendiri tidak harus tampil dalam foto. Disini, foto product tidak harus memperlihatkan produknya itu sendiri. Cakupan sebuah fotografi product shot dapat berupa sebuah foto still life (atau table top) yang sederhana maupun yang abstrak, sampai dengan gaya dokumentasi jurnalistik untuk mem visualisasikan gaya hidup dan penampilan yang disebutkan diatas.
Dalam fotografi product shot, ada istilah yang disebut sebagai Pack Shot Photography. Pack shot ini adalah sub varian dari Product Shot, dimana produk di visualisasikan brand dan nama produknya secara langsung maupun memakai kemasan packaging nya. Mungkin istilah pack shot ini adalah pengertian yang paling umum dan populer dari sebuah product shot. Sementara product shot photography nya sendiri mempunyai arti yang luas dan bermacam, karena pihak advertising memberikan tambahan arti pada definisi ini.

Terlepas dari banyak nya jargon di dunia fotografi komersial, mulai dari still life , table top, background table, product shot dan pack shot semuanya mempunyai satu kesamaan. Bahwa fotografi komersial di ciptakan untuk mem visualisasikan komoditas (bisa berupa product secara nyata maupun tidak) untuk memenuhi tuntutan klien dalam mengiklan kan bentuk usaha nya. Dan peran fotografer adalah membuat foto komersial tersebut dengan aspek teknis dan estetika yang dipunyai nya sehingga foto tersebut dapat menjadi foto yang ber nilai jual. Atau boleh kita sebut hal tersebut sebagai sebuah foto komersial.

Perlengkapan Pemotretan
Foto komersial untuk kebutuhan advertising, yang biasanya diperuntukkan untuk foto poster atau billboard terdapat hukum semakin besar ukuran sensor (atau ukuran film pada fotografi analog) maka fotonya akan semakin baik. Sifat dari foto produk mempunyai jam kerja yang lama dan cukup "slow", dalam pengertian foto harus di lay out dan di style oleh fotografer dan stylist sampai menjadi foto "matang". Kebanyakan fotografer professional menggunakan kamera large format 4x5 in atau 8x10 in dengan digital back maupun dengan film slide yang kemudian di scanning dengan drum scanner. Karena kamera nya yang berukuran besar spt ini membuat jam kerja pemotretan menjadi lama dan cukup "slow". Beberapa diantaranya memakai kamera medium format dengan digital back maupun film. Format medium format yang umum dipakai pada era digital adalah 6x7 dan 645. Tapi sekarang, banyak fotografer professional yang memakai DSLR 16.7 mega pixels karena harga digital back yang masih sangat tinggi. Harga kamera medium format dan digital back 30 mega pixel berkisar antara US$ 20.000 - US$25.000 yang kalo dirupiahkan berkisar Rp. 184 juta - Rp. 230 juta ! 
Salah satu faktor lain yang "melekat" pada kamera large format dan medium format adalah lensa standard yang semakin panjang. Dan karena lensa yang focal length nya semakin panjang, maka lensa2 nya pun mempunyai bukaan diafragma maksimum yang semakin lambat dan akibanya membutuhkan level penyinaran dengan lampu yang lebih tinggi karena untuk mencapai depth-of-field yang maksimal agar benda yang kita foto dalam kondisi setajam silet.
        Ukuran ruang studio juga harus dipertimbangkan. Seringkali, untuk menghindari refleksi, fotografer harus memotret dari jarak yang cukup jauh dari background table dengan lensa 180mm. Tinggi langit-langit dan lantai juga harus diperhitungkan, karena ke dua elemen tersebut ikut memantulkan lampu yang sudah kita atur tata letaknya. Seringkali ada jokes diantara fotografer komersial, bahwa kalo ukuran benda yang kita foto sangat kecil, kita juga tidak harus memotret di ruangan sebesar hanggar pesawat terbang. Mungkin studio foto terbesar adalah studio foto untuk pemotretan sebuah mobil.



          Light Angle Dan Kualitas Cahaya Pengertian light angle bukan pengertian posisi tinggi rendahnya lampu. Light angle adalah besar kecilnya sudut pancar cahaya dari sumber cahaya. Sudut pancar adalah besar, jika lampu dilakukan tanpa aksesoris lampu apapun. Aksesoris lampu yang umum adalah standard reflector. Dengan lampu dibiarkan "telanjang", cahaya nya menjadi "keras" dan amat menyilaukan. Ini biasa disebut dengan sebutan Hard Lighting. Penyinaran dengan cara ini akan menghasilkan shadows yang tegas dan keras; yaitu bayangan dengan garis tepi tegas, tajam dan jelas. Berbeda dengan light angle yang besar namun di kombinasikan dengan umbrella, soft-star dan soft box yang kualitas cahaya nya akan menjadi lembut dan shadows nya pun lembut dengan kontras rendah. Lighting spt ini disebut dengan nama Soft Lighting. Kualitas cahaya disini berarti besar-kecilnya daya pancar dan sudut pancar, keras lunaknya cahaya dan bayangan dan berbagai sumber cahaya beserta aksesorisnya.

Seringkali, hard lighting berguna bagi permukaan yang kasar dan ber tekstur agar highlights tampil dengan nyata. Hanya jika kita berhadapan dengan permukaan benda yang reflektif, metal/siver/gold/kaca misalnya, cara penyinaran ini beresiko tampilnya tampilan lampu yang disebut sebagai hot spot yang sangat mengganggu dan area hot spot itu pun dipastikan highlights nya akan hilang, dimana detil pada bagian itu akan hilang karena perbedaan intensitas cahaya yang tinggi sekali. Ini biasanya diakali dengan pemakaian filter polarisasi (berbentuk sheet lembaran) di depan lampu atau alternatif lain dengan menggunakan anti reflex spray, yaitu spray anti refleksi yang membuat permukaan benda menjadi dof dan tidak reflektif. Pemakaian ke dua benda ini juga agak tricky karena permukaan benda akan terlihat redup sehingga highlights menjadi hilang.
Soft Lighting sering kali menjadi pilihan karena beresiko lebih kecil, namun ada kalanya kurang efektif karena ketajaman, kontras, shadows dan highlights seolah lebih "dull" dibandingkan dengan hard lighting. Biasanya, para professional mengambil jalan tengah dengan memakai aksesoris yang tidak terlalu keras maupun tidak terlalu lembut. Aksesoris yang dimaksud adalah aksesoris bernama parabola reflector atau sun reflector, dimana reflector ini berjenis "lunak" (karena reflector biasanya berjenis "keras") yang berbentuk parabola dengan penghalang lampu di bagian tengah. Bilamana tekstur benda bukan merupakan hal yang perlu dari karakteristik benda yang kita foto, maka kita dapat memanfaatkan soft lighting karena kita dibebaskan dari unsur menampilkan highlights. Contoh paling umum adalah pada pemotretan orang, produk yang cukup besar, buah2an, tumbuh2an dan lain-lain.
Setiap ada highlights pasti ada shadows. Dalam fotografi, ke dua elemen ini sudah spt sepasang kekasih yang selalu ada di tiap foto. Dalam tiap exposure dan pemilihan hard-soft lighting yang kita pakai akan menciptakan sebuah Fidelity. Fidelity diartikan sebagai detil2 yang tercipta dari highlights dan shadows. Fidelity ini ikut memberikan kontribusi kedalaman warna (dynamic range) pada fotografi digital, karena memberikan "keseimbangan" detil yang tercipta karena komposisi hightlights dan shadows dalam suatu foto. Keseimbangan ini dapat kita lihat dalam histogram foto digital tersebut.
Lighting Systems Dalam garis besarnya, lighting system ini dapat di klasifikasikan pemakaiannya menjadi 3 jenis sumber cahaya; Open Reflector, Spotlights dan Area Lights.

1. Open Reflector Penyinaran dengan hanya menggunakan reflector, baik standard reflector,              narrow angle reflector, wide angle reflector, softlight reflector dan lain2, akan menghasilkan highlights yang amat kecil dan "menyala" sementara shadows tercipta dengan amat kuat dan gelap. Untuk mengatasinya, efek penyinaran ini dapat di modifikasi dengan menggunakan honeycomb grid.


2. Spotlights Penyinaran dengan spotlights ialah dengan cara menambahkan sistem lensa yang dapat diatur di   depan lampu, bisa berupa lensa projector atau lensa fresnel, menjadikan sinar yang keluar terfokus dan sudutnya menyempit. Akibatnya shadows yang tercipta sangat tajam dan gelap sekali. Highlights yang tercipta amat bergantung pada diameter berkas cahaya yang keluar, bisa kecil dan menyilaukan. Bahkan bisa juga membaur. Pemanfaatan cara penyinaran ini lebih cocok ditujukan untuk menonjokan suatu benda atau suatu bagian dari benda, dengan hasil bagian selebihnya agak menggelap dan tersamar. Cara ini kadang kali dipakai dalam penyajian foto iklan, agar pada daerah2 yang tersamar itu dapat diisi dengan teks secara efektif.
3. Area Lights Area lights adalah jenis cahaya yang lunak karena pancaran cahaya nya terbaur. Area lights umumnya berasal dari softbox, stripe lights, light banks dan lain2. Pantulan dari benda2 metal/kaca yang mengkilap dapat tampil dengan karakteristik nya sendiri. Hasilnya tampil lebih lembut selembut Molto dengan detil yang tampil nata pada permukaan benda2 bertekstur maupun dengan lekukan yang dalam.
Area lights kecil berguna untuk menghasilkan kontras, saturasi warna dan kesempatan untuk mengatur efek cahaya dan tidak selalu menghasilkan refleksi pada setiap permukaan yang bergelombang atau yang mempunyai lekukan. Jenis cahaya ini hanya cocok untuk jarak dekat. Sementara area lights yang besar mempunyai kemampuan memantul yang juga besar, bahkan nyaris tidak terlihat. Dengan area lights berbentuk memanjang, shadows hampir tidak tampak sama sekali, tapi timbul secara melintang. Di bawah kondisi tertentu, detil pada permukaan benda tertentu yang hampir licin tak akan nampak teksturnya. Pantulan cahaya dari umbrella, walaupun membaur, tapi penyebaran cahaya nya kurang merata. Semakin menjauh dari sumber cahaya semakin meredup dengan bayangan yang kuat dan penyebaran cahaya cenderung bundar dengan pantulan tidak merata. Garis konturnya lunak namun iluminasinya homogen sekali. Kelebihan penggunaan umbrella adalah detil yang tertangkap dengan baik.

Daya Pancar Cahaya Satuan resmi dari daya pancar cahaya lighting system studio adalah Watt Second atau biasa disingkat WS dan juga bisa disebut dengan Joule. Karena beragamnya aksesoris untuk lampu, maka daya pancar cahaya ikut berubah juga. Perhitungan besarnya daya pancar cahaya tiap lampu diukur dengan penggunaan standard reflector yang kemudian diukur besar-kecilnya bukaan aperture. Sebagai contoh; ISO yang dipakai adalah ISO 100 dan sebuah lampu dengan daya pancar cahaya sebesar 100 w/s pada jarak 2 meter, setting aperture nya adalah f/16. Sementara lampu jenis professional dengan daya pancar cahaya 1600 w/s dengan jarak yang sama menghasilkan bukaan aperture sebesar 1/64. Jenis professional perlu mempunyai spesifikasi besar karena pada saat di kombinasikan dengan berbagai macam aksesoris, dijauhkan jaraknya, sang fotografer masih bisa memilih bukaan aperture kecil untuk mendapatkan ketajaman lensa yang memadai. Hal ini penting sekali untuk pemotretan produk komersial, dengan benda yang paling kecil sampai benda berukuran besar. Besar kecilnya pancaran cahaya ama tergantung kepada aksesoris lampu yang dipergunakan dan jauh dekatnya sumber cahaya terhadap benda, maka penggunaan light meter atau flash meter adalah mutlak. Seorang professional, bukan hanya memperhitungkan selisih 1-stop exposure, bahkan 1/2 dan 1/4-stop untuk mendapatkan ke akuratan pengukuran.
 Selain itu, kebiasaan lain para professional adalah dengan teknik bracketting, atau pengulangan beberapa kali dengan pencahayaan yang sama. Di indoor, istilah bracketting biasa disebut dengan cross coupling yaitu teknik dengan meninggikan angka shutter speed sambil membesarkan bukaan aperture atau kebalikannya.
Penghamburan ini dilakukan untuk meminimalisir resiko pemotretan sekecil-kecilnya, terutama untuk subjek penting yang pemotretannya tidak dapat diulang atau lokasinya yang jauh tempat tinggal fotografer. Walaupun di era digital, teknik ini tetap dipakai karena kemampuan daya rekam sensor mempunyai kapasitas terbatas. Walaupun memotret dengan format RAW, informasi fidelity (detil pada highlights dan shadows) didapat dengan pengukuran exposure yang tepat dan akurat. Dan untuk mengurangi hal itu, biasanya dilakukan teknik bracketting dengan jarak 1/3 atau 1/2-stop. 


Mudahan-mudahan, uraian panjang yang penuh dengan jargon ini tidak memusingkan dan membantu rekan2 yang hendak mendalami dunia fotografi still life dan commercial. Dibawah ini terlampir beberapa karya foto komersial sederhana. Kalo ada kekurangan dan kesalahan, saya mohon maaf dan saya berharap rekan2 dapat mengoreksi tulisan saya; baik secara langsung atau lewat private message. Terima kasih. Salam APMania.
Arief Setiawan. Denpasar, April 21, 2007. Dedikasikan untuk Alm. Leonardi Rustandi, seorang bapak, guru dan kakak yang pernah dijuluki kamus berjalan fotografi indonesia... Sebuah product shot dengan memanfaatkan dua buah lampu dengan standard reflector. Camera : Canon 1Ds Mark II Lens : Canon 180mm Sebuah contoh foto product shot yang memanfaatkan softbox dan slow shutter speed. Camera : Canon D60 Lens : Canon 50mm.
Contoh sebuah foto product shot dengan memanfaatkan 5 buah lampu belajar dan lampu flash dengan snoot. Camera : Canon D60 Lens : 100mm. Contoh sebuah product shot dengan satu buah softbox. Camera : Canon D30 Lens : 50mm.
Sebuah contoh foto product shot dengan memanfaatkan 1 buah softbox dan di kreasikan sedemikian dan kemudian di repro kembali. Camera : Minolta 9Ti Lens : Tamron 90mm. Sebuah contoh product shot dengan memanfaatkan satu buah softbox. Camera : Canon D60 Lens : Canon 50mm 




           Sebuah contoh foto product shot dengan satu buah softbox dan teknik slow shutter speed. Light trail yang berada di kedua objek didapat dari kamera yang digerakkan. Photoshop hanya menggabungkan ke2 objek menjadi 1. Camera : Canon D60 



ANGGOTA KELOMPOK I
-          Fahmi Assagaf
-          Ana Rukmana Rabbil
-          Handayani Yusuf
-          Desti Tangkelembang
-          A. Muchtar Baharuddin
-          Ending
-          Said Ansharullah
-          Herman
-          A. Kiki Angraeni Firman
-          Ayu Rezky Ananda


Tidak ada komentar:

Posting Komentar