MATERI
PHOTOGRAFI KOMERSIAL
Commercial photography mempunyai cakupan yang luas sekali.
Objek apapun bisa dijadikan karya foto yang memiliki nilai jual, sehingga tiap
fotografer yang menggeluti bidang ini perlu bekal pengetahuan fotografi yang
luas terhadap penggunaan berbagai perangkat pemotretan, segala aksesori
pendukungnya, perangkat penyinaran dan aksesoris nya. Dan yang paling penting
adalah manajemen dan wawasan untuk mendukung
kreatifitasdan kelancaran kerja.
Ini berarti
seorang fotografer komersial haruslah berpengetahuan lengkap terhadap segala macam
teknis pemotretan dan juga berpengalaman dengan jam terbang melakukan
pemotretan terhadap berbagai jenis benda mati dan benda hidup, produk paling
kecil sampai paling besar; flora, fauna, balita sampai model dewasa. Selain itu
fotografer juga harus fasih melakukan pemotretan studio, mengetahui workflow
pemotretan, mengetahui pemotretan di tempat terbuka dan bisa bersosialisasi di
berbagai kalangan yang berbeda tingkat sosialnya. Fotografi seringkali membawa
sang fotografer jauh menjelajahi disiplin ilmu lainnya yang ber hubungan dengan
fotografi maupun yang tidak.
Table Top Photography Berbagai jenis benda yang dapat di foto diatas meja
adalah kotak kemasan, botol, kaleng, pecah belah, makanan minuman yang
mempunyai wadah, peralatan kantor, buah2an, sayuran, berbagai macam bunga,
perhiasan, perlengkapan makan dan lain sebagainya. Meja khusus untuk keperluan
ini biasa disebut sebagai Background Table atau seringkali sering disebut
sebagai meja Table Top saja. Meja ini harus didesain sedemikian rupa agar bisa
membantu kelancaran kerja fotografer.
Berbagai benda
yang di foto, banyak diantaranya harus dilihat dengan sudut pandang tinggi,
menengah atau rendah. Beberapa harus dilakukan dengan kesejajaran vertikal. Dan
beberapa harus diupayakan dengan depth-of-field yang besar. Ini semua butuh
pengetahuan aspek teknis fotografis, pengalaman memotret yang baik, jam terbang
memotret yang cukup dan dasar2 teknis fotografis yang kuat.
Background table ini sebaiknya di tempatkan di tengah ruangan, agar bisa lebih leluasa
dalam menempatkan dan mengatur lampu2 di posisi yang tersulit sekalipun. Kalau
meja dirapatkan ke dinding, besar kemungkinan posisi lampu dari samping akan
memantul ke dinding dan dinding dapat memantulkan kembali sinar lampu dari
samping tersebut.
Selain itu,
fotografer juga susah menempatkan lampu dari belakang (karena meja menempel ke
dinding) untuk mendapatkan effect light seperti back light dan rim light.
Alas meja pun tidak boleh permanen, karena sifat alas meja harus fleksibel
antara transparan, semi transparan (opaque) dan yang masif tidak tertembus
cahaya sekuat apapun. Pilihan layar background yang paling umum adalah
putih-hitam, merah, coklat, biru tua, biru muda dan 18% grey. Untuk kebutuhan
tertentu, layar background spt two-tones, tri-tones dan graduated dalam
berbagai warna akan sangat terpakai. Biasanya, warna background dipakai atas
keinginan klien, tuntutan story board dari pihak advertising, untuk menonjolkan
produk yang di foto dan seringkali warna background berhubungan dengan warna
perusahaan (corporate color) yang memakai jasa kita. Pilihan ini ada kalanya
permintaan dari klien, tetapi di sisi lain fotografer harus bisa menawarkan
alternatif sebagai inisiatif profesi.
Table Top ini
dapat ditemukan hampir di semua toko peralatan fotografi yang menyediakan
peralatan studio foto. Harganya berkisar antara 2.5-3.5 juta rupiah. Atau kita
juga bisa membuat sendiri meja tersebut, baik secara permanen maupun dengan
sistem knock-down agar meja tersebut dapat kita bongkar dan kita pasang lagi di
manapun. Table Top Photography secara umum biasa juga disebut sebagai Still Life
Photography.
Product Shot Photography, Sebuah Jargon Yang Membingungkan Product Shot
biasanya selalu dikaitkan dengan hadirnya sejumlah nama atau brand produk yang
tampil di foto. Nama dan brand ini bisa dicantumkan lewat teks grafis, dapat
juga tertera langsung pada benda yang di foto maupun timbul secara perseptif.
Timbul secara perseptif disini, misalnya kita memotret produk kopi dari
starbuck, walaupun tanpa logo atau brand nama starbuck, ciri khas kopi starbuck
dapat terlihat dengan jelas. Atau beberapa produk yang terlihat tidak
"nyata" spt sebuah rasa atau bau-bauan spt parfum. Pada saat
pemotretan parfum, kesan rasa dan bau dari parfum hampir mustahil di visualisasikan
lewat foto. Fotografer hanya bisa mempresentasikan kemasan atau
"wakil" dari produk tersebut. Dalam jargon lainnya, product shot
memvisualisasikan aspek nyata dan aspek maya dari sebuah komoditas, secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam kasus
kampanye iklan Benetton, secara langsung dapat dilihat bahwa iklan tersebut
mempresentasikan Benetton bukan sebagai produk tapi lebih sebagai sebuah
branding image. Dalam foto2 iklan Benetton tidak ada satupun produk yang di
produksi Benetton tampil disana. Contoh2 lain spt foto2 kampanye iklan Benetton
adalah foto2 product shot dari perusahaan tembakau (bukan rokok), celana jeans
dan beberapa perusahan lainnya. Dalam contoh kasus ini, branding image korporat
lebih dominan dibandingkan produknya sendiri. Branding image pada foto product
shot jenis ini lebih lebih menekankan kepada gaya hidup dan penampilan dari
sebuah iklan, yang mana foto produknya sendiri tidak harus tampil dalam foto.
Disini, foto product tidak harus memperlihatkan produknya itu sendiri. Cakupan
sebuah fotografi product shot dapat berupa sebuah foto still life (atau table
top) yang sederhana maupun yang abstrak, sampai dengan gaya dokumentasi
jurnalistik untuk mem visualisasikan gaya hidup dan penampilan yang disebutkan
diatas.
Dalam fotografi
product shot, ada istilah yang disebut sebagai Pack Shot Photography. Pack shot
ini adalah sub varian dari Product Shot, dimana produk di visualisasikan brand
dan nama produknya secara langsung maupun memakai kemasan packaging nya.
Mungkin istilah pack shot ini adalah pengertian yang paling umum dan populer
dari sebuah product shot. Sementara product shot photography nya sendiri
mempunyai arti yang luas dan bermacam, karena pihak advertising memberikan tambahan
arti pada definisi ini.
Terlepas dari banyak nya jargon di dunia fotografi
komersial, mulai dari still life , table top, background table, product shot
dan pack shot semuanya mempunyai satu kesamaan. Bahwa fotografi komersial di
ciptakan untuk mem visualisasikan komoditas (bisa berupa product secara nyata
maupun tidak) untuk memenuhi tuntutan klien dalam mengiklan kan bentuk usaha
nya. Dan peran fotografer adalah membuat foto komersial tersebut dengan aspek
teknis dan estetika yang dipunyai nya sehingga foto tersebut dapat menjadi foto
yang ber nilai jual. Atau boleh kita sebut hal tersebut sebagai sebuah foto
komersial.
Perlengkapan
Pemotretan
Foto komersial
untuk kebutuhan advertising, yang biasanya diperuntukkan untuk foto poster atau
billboard terdapat hukum semakin besar ukuran sensor (atau ukuran film pada
fotografi analog) maka fotonya akan semakin baik. Sifat dari foto produk
mempunyai jam kerja yang lama dan cukup "slow", dalam pengertian foto
harus di lay out dan di style oleh fotografer dan stylist sampai menjadi foto "matang".
Kebanyakan fotografer professional menggunakan kamera large format 4x5 in atau
8x10 in dengan digital back maupun dengan film slide yang kemudian di scanning
dengan drum scanner. Karena kamera nya yang berukuran besar spt ini membuat jam
kerja pemotretan menjadi lama dan cukup "slow". Beberapa diantaranya
memakai kamera medium format dengan digital back maupun film. Format medium
format yang umum dipakai pada era digital adalah 6x7 dan 645. Tapi sekarang,
banyak fotografer professional yang memakai DSLR 16.7 mega pixels karena harga
digital back yang masih sangat tinggi. Harga kamera medium format dan digital
back 30 mega pixel berkisar antara US$ 20.000 - US$25.000 yang kalo dirupiahkan
berkisar Rp. 184 juta - Rp. 230 juta !
Salah satu
faktor lain yang "melekat" pada kamera large format dan medium format
adalah lensa standard yang semakin panjang. Dan karena lensa yang focal length
nya semakin panjang, maka lensa2 nya pun mempunyai bukaan diafragma maksimum
yang semakin lambat dan akibanya membutuhkan level penyinaran dengan lampu yang
lebih tinggi karena untuk mencapai depth-of-field yang maksimal agar benda yang
kita foto dalam kondisi setajam silet.
Ukuran ruang
studio juga harus dipertimbangkan. Seringkali, untuk menghindari refleksi,
fotografer harus memotret dari jarak yang cukup jauh dari background table
dengan lensa 180mm. Tinggi langit-langit dan lantai juga harus diperhitungkan,
karena ke dua elemen tersebut ikut memantulkan lampu yang sudah kita atur tata
letaknya. Seringkali ada jokes diantara fotografer komersial, bahwa kalo ukuran
benda yang kita foto sangat kecil, kita juga tidak harus memotret di ruangan
sebesar hanggar pesawat terbang. Mungkin studio foto terbesar adalah studio
foto untuk pemotretan sebuah mobil.
Light Angle Dan Kualitas Cahaya Pengertian light angle bukan pengertian posisi
tinggi rendahnya lampu. Light angle adalah besar kecilnya sudut pancar cahaya
dari sumber cahaya. Sudut pancar adalah besar, jika lampu dilakukan tanpa
aksesoris lampu apapun. Aksesoris lampu yang umum adalah standard reflector.
Dengan lampu dibiarkan "telanjang", cahaya nya menjadi
"keras" dan amat menyilaukan. Ini biasa disebut dengan sebutan Hard
Lighting. Penyinaran dengan cara ini akan menghasilkan shadows yang tegas dan
keras; yaitu bayangan dengan garis tepi tegas, tajam dan jelas. Berbeda dengan
light angle yang besar namun di kombinasikan dengan umbrella, soft-star dan
soft box yang kualitas cahaya nya akan menjadi lembut dan shadows nya pun
lembut dengan kontras rendah. Lighting spt ini disebut dengan nama Soft
Lighting. Kualitas cahaya disini berarti besar-kecilnya daya pancar dan sudut
pancar, keras lunaknya cahaya dan bayangan dan berbagai sumber cahaya beserta
aksesorisnya.
Seringkali,
hard lighting berguna bagi permukaan yang kasar dan ber tekstur agar highlights
tampil dengan nyata. Hanya jika kita berhadapan dengan permukaan benda yang
reflektif, metal/siver/gold/kaca misalnya, cara penyinaran ini beresiko
tampilnya tampilan lampu yang disebut sebagai hot spot yang sangat mengganggu
dan area hot spot itu pun dipastikan highlights nya akan hilang, dimana detil
pada bagian itu akan hilang karena perbedaan intensitas cahaya yang tinggi
sekali. Ini biasanya diakali dengan pemakaian filter polarisasi (berbentuk
sheet lembaran) di depan lampu atau alternatif lain dengan menggunakan anti
reflex spray, yaitu spray anti refleksi yang membuat permukaan benda menjadi
dof dan tidak reflektif. Pemakaian ke dua benda ini juga agak tricky karena
permukaan benda akan terlihat redup sehingga highlights menjadi hilang.
Soft Lighting
sering kali menjadi pilihan karena beresiko lebih kecil, namun ada kalanya
kurang efektif karena ketajaman, kontras, shadows dan highlights seolah lebih
"dull" dibandingkan dengan hard lighting. Biasanya, para professional
mengambil jalan tengah dengan memakai aksesoris yang tidak terlalu keras maupun
tidak terlalu lembut. Aksesoris yang dimaksud adalah aksesoris bernama parabola
reflector atau sun reflector, dimana reflector ini berjenis "lunak"
(karena reflector biasanya berjenis "keras") yang berbentuk parabola
dengan penghalang lampu di bagian tengah. Bilamana tekstur benda bukan
merupakan hal yang perlu dari karakteristik benda yang kita foto, maka kita
dapat memanfaatkan soft lighting karena kita dibebaskan dari unsur menampilkan
highlights. Contoh paling umum adalah pada pemotretan orang, produk yang cukup
besar, buah2an, tumbuh2an dan lain-lain.
Setiap ada
highlights pasti ada shadows. Dalam fotografi, ke dua elemen ini sudah spt
sepasang kekasih yang selalu ada di tiap foto. Dalam tiap exposure dan
pemilihan hard-soft lighting yang kita pakai akan menciptakan sebuah Fidelity.
Fidelity diartikan sebagai detil2 yang tercipta dari highlights dan shadows.
Fidelity ini ikut memberikan kontribusi kedalaman warna (dynamic range) pada fotografi
digital, karena memberikan "keseimbangan" detil yang tercipta karena
komposisi hightlights dan shadows dalam suatu foto. Keseimbangan ini dapat kita
lihat dalam histogram foto digital tersebut.
Lighting
Systems Dalam garis besarnya, lighting system ini dapat di klasifikasikan
pemakaiannya menjadi 3 jenis sumber cahaya; Open Reflector, Spotlights dan Area
Lights.
1. Open Reflector Penyinaran dengan hanya menggunakan
reflector, baik standard reflector, narrow angle reflector, wide angle
reflector, softlight reflector dan lain2, akan menghasilkan highlights yang
amat kecil dan "menyala" sementara shadows tercipta dengan amat kuat
dan gelap. Untuk mengatasinya, efek penyinaran ini dapat di modifikasi dengan
menggunakan honeycomb grid.
2. Spotlights Penyinaran dengan spotlights ialah dengan cara
menambahkan sistem lensa yang dapat diatur di depan lampu, bisa berupa lensa
projector atau lensa fresnel, menjadikan sinar yang keluar terfokus dan
sudutnya menyempit. Akibatnya shadows yang tercipta sangat tajam dan gelap
sekali. Highlights yang tercipta amat bergantung pada diameter berkas cahaya
yang keluar, bisa kecil dan menyilaukan. Bahkan bisa juga membaur. Pemanfaatan
cara penyinaran ini lebih cocok ditujukan untuk menonjokan suatu benda atau
suatu bagian dari benda, dengan hasil bagian selebihnya agak menggelap dan
tersamar. Cara ini kadang kali dipakai dalam penyajian foto iklan, agar pada
daerah2 yang tersamar itu dapat diisi dengan teks secara efektif.
3. Area Lights Area lights adalah jenis cahaya yang lunak
karena pancaran cahaya nya terbaur. Area lights umumnya berasal dari softbox,
stripe lights, light banks dan lain2. Pantulan dari benda2 metal/kaca yang
mengkilap dapat tampil dengan karakteristik nya sendiri. Hasilnya tampil lebih
lembut selembut Molto dengan detil yang tampil nata pada permukaan benda2
bertekstur maupun dengan lekukan yang dalam.
Area lights
kecil berguna untuk menghasilkan kontras, saturasi warna dan kesempatan untuk
mengatur efek cahaya dan tidak selalu menghasilkan refleksi pada setiap
permukaan yang bergelombang atau yang mempunyai lekukan. Jenis cahaya ini hanya
cocok untuk jarak dekat. Sementara area lights yang besar mempunyai kemampuan
memantul yang juga besar, bahkan nyaris tidak terlihat. Dengan area lights
berbentuk memanjang, shadows hampir tidak tampak sama sekali, tapi timbul
secara melintang. Di bawah kondisi tertentu, detil pada permukaan benda
tertentu yang hampir licin tak akan nampak teksturnya. Pantulan cahaya dari
umbrella, walaupun membaur, tapi penyebaran cahaya nya kurang merata. Semakin
menjauh dari sumber cahaya semakin meredup dengan bayangan yang kuat dan
penyebaran cahaya cenderung bundar dengan pantulan tidak merata. Garis
konturnya lunak namun iluminasinya homogen sekali. Kelebihan penggunaan umbrella
adalah detil yang tertangkap dengan baik.
Daya Pancar
Cahaya Satuan resmi dari daya pancar cahaya lighting system studio adalah Watt
Second atau biasa disingkat WS dan juga bisa disebut dengan Joule. Karena
beragamnya aksesoris untuk lampu, maka daya pancar cahaya ikut berubah juga.
Perhitungan besarnya daya pancar cahaya tiap lampu diukur dengan penggunaan
standard reflector yang kemudian diukur besar-kecilnya bukaan aperture. Sebagai
contoh; ISO yang dipakai adalah ISO 100 dan sebuah lampu dengan daya pancar
cahaya sebesar 100 w/s pada jarak 2 meter, setting aperture nya adalah f/16.
Sementara lampu jenis professional dengan daya pancar cahaya 1600 w/s dengan
jarak yang sama menghasilkan bukaan aperture sebesar 1/64. Jenis professional
perlu mempunyai spesifikasi besar karena pada saat di kombinasikan dengan
berbagai macam aksesoris, dijauhkan jaraknya, sang fotografer masih bisa memilih
bukaan aperture kecil untuk mendapatkan ketajaman lensa yang memadai. Hal ini
penting sekali untuk pemotretan produk komersial, dengan benda yang paling
kecil sampai benda berukuran besar. Besar kecilnya pancaran cahaya ama
tergantung kepada aksesoris lampu yang dipergunakan dan jauh dekatnya sumber
cahaya terhadap benda, maka penggunaan light meter atau flash meter adalah
mutlak. Seorang professional, bukan hanya memperhitungkan selisih 1-stop
exposure, bahkan 1/2 dan 1/4-stop untuk mendapatkan ke akuratan pengukuran.
Selain
itu, kebiasaan lain para professional adalah dengan teknik bracketting, atau
pengulangan beberapa kali dengan pencahayaan yang sama. Di indoor, istilah
bracketting biasa disebut dengan cross coupling yaitu teknik dengan meninggikan
angka shutter speed sambil membesarkan bukaan aperture atau kebalikannya.
Penghamburan
ini dilakukan untuk meminimalisir resiko pemotretan sekecil-kecilnya, terutama
untuk subjek penting yang pemotretannya tidak dapat diulang atau lokasinya yang
jauh tempat tinggal fotografer. Walaupun di era digital, teknik ini tetap
dipakai karena kemampuan daya rekam sensor mempunyai kapasitas terbatas.
Walaupun memotret dengan format RAW, informasi fidelity (detil pada highlights
dan shadows) didapat dengan pengukuran exposure yang tepat dan akurat. Dan
untuk mengurangi hal itu, biasanya dilakukan teknik bracketting dengan jarak
1/3 atau 1/2-stop.
Mudahan-mudahan, uraian panjang yang penuh
dengan jargon ini tidak memusingkan dan membantu rekan2 yang hendak mendalami dunia
fotografi still life dan commercial. Dibawah ini terlampir beberapa karya foto
komersial sederhana. Kalo ada kekurangan dan kesalahan, saya mohon maaf dan
saya berharap rekan2 dapat mengoreksi tulisan saya; baik secara langsung atau
lewat private message. Terima kasih. Salam APMania.
Arief Setiawan.
Denpasar, April 21, 2007. Dedikasikan untuk Alm. Leonardi Rustandi, seorang
bapak, guru dan kakak yang pernah dijuluki kamus berjalan fotografi
indonesia... Sebuah product shot dengan memanfaatkan dua buah lampu dengan
standard reflector. Camera : Canon 1Ds Mark II Lens : Canon 180mm Sebuah contoh
foto product shot yang memanfaatkan softbox dan slow shutter speed. Camera :
Canon D60 Lens : Canon 50mm.
Contoh sebuah
foto product shot dengan memanfaatkan 5 buah lampu belajar dan lampu flash
dengan snoot. Camera : Canon D60 Lens : 100mm. Contoh sebuah
product shot dengan satu buah softbox. Camera : Canon D30 Lens : 50mm.
Sebuah contoh
foto product shot dengan memanfaatkan 1 buah softbox dan di kreasikan sedemikian
dan kemudian di repro kembali. Camera : Minolta 9Ti Lens : Tamron 90mm. Sebuah
contoh product shot dengan memanfaatkan satu buah softbox. Camera : Canon D60
Lens : Canon 50mm
Sebuah
contoh foto product shot dengan satu buah softbox dan teknik slow shutter
speed. Light trail yang berada di kedua objek didapat dari kamera yang
digerakkan. Photoshop hanya menggabungkan ke2 objek menjadi 1. Camera : Canon
D60
ANGGOTA KELOMPOK
I
-
Fahmi
Assagaf
-
Ana
Rukmana Rabbil
-
Handayani
Yusuf
-
Desti
Tangkelembang
-
A.
Muchtar Baharuddin
-
Ending
-
Said
Ansharullah
-
Herman
-
A.
Kiki Angraeni Firman
-
Ayu
Rezky Ananda